Presiden Jokowi beberapa waktu lalu menyampaikan rencana pelarangan rokok ketengan, bermaksud untuk melindungi keluarga miskin Indonesia yang masih banyak membeli rokok daripada membeli makanan bergizi. Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) mengapresiasi hal tersebut dan mengatakan, larangan tersebut bisa mengikis tingginya prevalensi kemiskinan dan stunting.
“Sangat signifikan kalau larangan rokok ketengan itu dilakukan, maka akan mengikis dua hal yakni prevalensi tingginya kemiskinan dan stunting,” kata Ketua pengurus harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) Tulus Abadi, saat konferensi pers virtual yang diadakan oleh Komnas Pengendalian Tembakau, Jumat, 3 Februari 2022.
Dia meminta Presiden Joko Widodo untuk lebih tegas atas rencana larangan penjualan rokok ketengan itu. Karena konsumsi di rumah tangga miskin yang seharusnya untuk kebutuhan gizi justru dialokasikan untuk membeli rokok.
“Kalau presiden langsung concern masalah stunting, seharusnya itu bisa menjadi upaya mengurangi prevalensi stunting yang kini mencapai 24 persen lebih.” ujar Tulus.
Tulus mengatakan, rumah tangga miskin mayoritas pengguna BPJS, sehingga presiden harus berani menyatakan peserta Penerima Bantuan Iuran atau PBI tidak boleh ada yang merokok, “Kalau ada yang merokok, harus bisa direview keanggotaanya sebagai PBI. Di satu sisi, dia meminta hak JKN-nya, tapi di sisi lain dia habiskan uang untuk rokok,” kata Tulus seraya mencontohkan, kalau sebungkus Rp 20 ribu berarti satu bulan Rp 600 ribu untuk konsumsi rokok. Itu jauh lebih tinggi dari subsidi PBI yang diberikan.
Pihaknya akan terus mendukung kebiakan larangan penjualan rokok ketengan ini. Dia berharap juga agar Presiden tidak memberikan harapan palsu kepada masyarakat Indonesia.
“Persoalan konsumsi rokok yang dipicu penjualan ketengan itu sudah menjadi persoalan sosial ekonomi harusnya diberikan kebijakan yang konkrit khususnya untuk melindungi rakyat miskin dan untuk menekan tingginya prevalensi stunting anak Indonesia,” tutup Tulus.
0 Komentar