Koalisi Masyarakat Sipil menilai, konflik kepentingan yang terjadi pada Ketua MK Anwar Usman, paman Gibran Rakabuming Raka sekaligus Hakim Konstitusi yang mengabulkan Perkara No. 90 tersebut, bukan hanya melanggar kode etik dan perilaku Hakim, tetapi merupakan bentuk intervensi dan manipulasi kekuasaan dalam putusan tersebut yang dilakukan secara telanjang dan terang benderang.
“Kami memandang, apa yang terjadi di MK dalam putusan Perkara No. 90 tersebut, merupakan bentuk Kolusi, Korupsi dan Nepotisme yang terang benderang terjadi,” ujar Ketua YLBHI M Isnur dalam keterangannya, Minggu 5 November 2023.
Isnur menjelaskan, perkoncoan dan nepotisme yang dilakukan penguasa untuk kepentingan keluarga dan bukan kepentingan bangsa. Hal ini merupakan sesuatu yang bertentangan dengan semangat reformasi yang memandatkan pentingnya menolak segala bentuk nepotisme sesuai Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor XI/MPR/1998 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas Korupsi, Kolusi dan Nepotisme, dan Undang-undang No. 28 Tahun 1999 tentang Tentang Penyelenggara Negara Yang Bersih Dan Bebas Dari Korupsi, Kolusi, Dan Nepotisme.
“Praktik nepotisme antara Penguasa dan MK ini merupakan bentuk perusakan pada demokrasi dan hukum di Indonesia yang tidak bisa dibiarkan,” kata dia.
Dia menambahkan, dalam perspektif Pemilu, proses awal Pemilu yang diwarnai putusan MK ini tentu akan mencederai proses Pemilu yang akan dilakukan. Sedari awal kekuasaan sudah menggunakan kekuatannya untuk mengintervensi hukum dalam rangka melanggengkan dinasti politiknya.
“Sulit untuk dapat meraih proses pemilu yang demokratis dan hasil yang demokratis paska putusan MK. Hal itu karena sejak dini, Penguasa telah memperlihatkan dan mempertontonkan tangan tangan kekuasaaan bekerja untuk mengintervensi satu lembaga yudikatif yakni Mahkamah Konstitusi,” ucap dia.
Dia menyebut, Intervensi kekuasaan pada lembaga negara lain pun sangat mungkin terjadi karena kepada MK saja hal itu sudah terjadi. Proses Pemilu sedari awal sudah cacat secara politik paska putusan MK.
Dalam realitasnya, menjelang akan berakhir masa periode jabatan yang kedua Presiden Joko Widodo semakin mempertontonkan dirinya sebagai perusak demokrasi dengan berupaya membangun “politik dinasti” yang sarat dengan praktik kolusi dan nepotisme melalui pencawapresan anaknya, Gibran berpasangan dengan Prabowo Subianto dalam Pemulu 2024.
“Kami menilai, kondisi kemunduran demokrasi di akhir era pemerintahan Presiden Joko Widodo tidak bisa dan tidak boleh dibiarkan terus terjadi, mengingat demokrasi merupakan capaian politik yang diperjuangkan dengan susah payah pada tahun 1998 dan harus terus dipertahankan,” kata dia.
Untuk merespons hal tersebut, dibutuhkan adanya bangunan gerakan pro demokrasi untuk menyelamatkan demokrasi dari kemunduran, termasuk dengan menjadikan politik elektoral sebagai momentum dan media untuk mengoreksi semua kebijakan dan langkah politik Presiden Joko Widodo yang memundurkan capaian politik Reformasi 1998 tersebut.
0 Komentar