HANYA DI ERA JOKOWI ! “EKONOMI AYAM” RI SUKSES BERTRANSFORMASI LOH

  


Republik Indonesia merupakan negara yang dianugerahi dengan kekayaan sumber daya alam, termasuk dari sektor pertambangan. Akan tetapi, potensi "harta karun" tersebut belum sepenuhnya dimanfaatkan dengan maksimal.

Pasalnya, Indonesia selama bertahun-tahun atau bahkan puluhan tahun masih terlena dengan kegiatan menggali dan menjual, tanpa melakukan proses hilirisasi di dalam negeri terlebih dahulu.

Deputi Bidang Investasi dan Pertambangan Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Septian Hario Seto menyebutkan, kegiatan menggali dan menjual tersebut sebagai praktik "ekonomi ayam".

Maksudnya, Indonesia hanya menggali tambang mentah, dan langsung mengekspornya ke manca negara, tanpa melalui proses hilirisasi atau pemurnian komoditas tambang di dalam negeri.

"Selama bertahun-tahun ekonomi kita cenderung, kalau boleh sebut ekonomi ayam. Bisa lihat ayam cari makan gimana sih, kan cara ayam cari makan ini gali, gali, gali. Nah ini sama, kita selama bertahun-tahun, gali-gali ekspor, gali-gali ekspor," ungkapnya kepada CNBC Indonesia dalam acara program Nation Hub CNBC Indonesia pekan lalu.

Oleh karena itu, Seto menilai Presiden RI Joko Widodo (Jokowi) berhasil mengubah kegiatan ekonomi yang hanya gali-jual ini ke arah hilirisasi. Hal ini bisa terlihat sejak 2014 di mana Presiden merancang peningkatan nilai tambah di sektor pertambangan, sebagai tindak lanjut dan pelaksanaan dari Undang-Undang No.4 tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batu Bara (UU Minerba).

"Ini sudah diamanatkan. Jadi menurut saya transformasi yang dilakukan dieksekusi sejak zaman periode Pak Joko Widodo itu adalah bagaimana kita melakukan nilai tambah atas bahan mineral yang kita miliki, bahan mentah yang kita miliki, menjadi sesuatu yang lebih berharga. yang saat kita ekspor itu, nilainya berkali-kali lipat lebih tinggi," jelasnya.

Dia mencontohkan, komoditas nikel saat belum dilakukan hilirisasi, Indonesia mengekspor nikel mentah dalam satu ton yang kandungan nikelnya terhitung hanya sebesar 1,7%. Hal ini berarti Indonesia hanya mengekspor 1,7% nikel per tonnya, sedangkan sisanya adalah komponen air dan tanah.

"Kalau kita ekspor bijih nikel itu dalam satu ton mungkin nikelnya hanya ada 1,7 sampai 1,8%, sisanya apa? Sisanya adalah tanah dan air. Jadi kalau kita mau mengekspor bijih nikel itu kita mengekspor tanah dan air. Karena hanya 1,7% nikelnya," pungkasnya.

Dalam datanya, Seto memaparkan kebijakan pelarangan ekspor bijih nikel Indonesia pertama kali diterapkan pada 2014, menghasilkan nilai ekspor nol pada tahun 2015-2016. Lalu, pemerintah melonggarkan kebijakan tersebut pada 2017 sebelum akhirnya menerapkan kembali kebijakan larangan ekspor pada awal 2020. Sejak awal 2020, produk nikel yang diekspor harus melalui proses hilirisasi di dalam negeri terlebih dahulu, seperti feronikel, Nickel Pig Iron (NPI), nickel matte, maupun stainless steel. Akibatnya, nilai tambah pun dirasakan negara ini.

Dia mengatakan, hilirisasi juga membantu menjaga ketahanan eksternal, ekspor besi dan baja berkontribusi 60% untuk mengurangi defisit neraca perdagangan dengan China. Seperti diketahui, China merupakan importir nikel terbesar dari Indonesia sejak 2007.

"96% bijih nikel kita diekspor ke mana? Ke Tiongkok, 96% bijih nikel kita ke Tiongkok. Jadi sekarang apa yang kita lakukan? Oke kita tidak lagi perbolehkan ekspor bijih nikel ini bisa dilihat datanya 96% di 2019, 2018 bahkan 97%, 2017 juga kira-kira sama," ujarnya.

Untuk itu, menurutnya strategi hilirisasi Indonesia ke depan dirancang menjadi industrialisasi dengan nilai tambah tinggi berbasis komoditas menuju struktur ekonomi yang lebih kompleks.

Dalam beberapa tahun ke depan, Pemerintah Indonesia bahkan mendorong hilirisasi nikel ini sampai pada produk baterai kendaraan listrik.

Seperti diketahui, pemerintah juga berencana menyetop ekspor bahan mentah mineral, salah satunya bauksit mulai Juni 2023. Hal ini sesuai dengan amanat Undang-Undang No.3 tahun 2020 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (Minerba).

Adapun tujuan utama kebijakan ini yaitu guna mendorong hilirisasi bahan mineral mentah di Tanah Air, sehingga negeri ini memperoleh nilai tambah lebih besar, ketimbang hanya mengekspor produk mentah seperti yang dilakukan selama ini.

Posting Komentar

0 Komentar