Koalisi Indonesia Maju yang mendukung Prabowo Subianto sebagai bakal calon presiden (capres) bakal menjadi poros paling gemuk pada Pemilu Presiden (Pilpres) 2024 jika Partai Demokrat bergabung. Namun, besar kecilnya koalisi partai politik dinilai tak menjamin kemenangan calon presiden dan calon wakil presiden (cawapres).
“Dalam kontestasi pilpres, tidak selalu linear antara kemenangan dengan jumlah banyaknya partai dalam koalisi,” kata Direktur Nusakom Pratama Institute, Ari Junaedi, Senin (18/9/2023).
Ari menyebut, semakin gemuk koalisi, justru semakin rumit membangun koordinasi antarpartai politik. Baik itu untuk menentukan cawapres, maupun ketika mempersiapkan kampanye.
Meski bekerja sama dalam satu koalisi, setiap parpol diyakini akan mementingkan ego masing-masing. Parpol cenderung ingin memenangkan partai mereka sendiri ketimbang capres-cawapres yang mereka dukung. “Ego partai pasti ingin memenangkan partai, bukan sosok capres,” ujarnya.
Lagipula, lanjut Ari, dukungan massa partai politik tak selalu sejalan dengan kandidat capres-cawapres. Artinya, meski suara koalisi besar dan beragam dari berbagai partai, belum tentu massa pendukungnya memilih capres-cawapres yang diusung koalisi tersebut.
“Hasil survei terbaru dari Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC) membuktikan kalau loyalitas kader partai tidak identik selalu memilih capres-cawapres yang diusung partainya,” kata Ari.
“Misalnya Demokrat, kefanatikan kader dan simpatisan Demokrat ternyata ada yang memilih Ganjar di 33 persen, sementara yang memilih Anies masih 22 persen dan yang memilih Prabowo di 39 persen,” tutur dosen Universitas Indonesia (UI) itu.
Hal yang sama juga diungkap oleh Direktur Eksekutif Institute for Democracy and Strategic Affairs (Indostrategic) Ahmad Khoirul Umam. Umam menekankan, gemuknya koalisi partai politik tak selalu beriringan dengan kemenangan.
“Besarnya angka kekuatan koalisi tidak menjamin kemenangan pasangan capres-cawapres dalam pilpres di Indonesia,” tutur dosen Universitas Paramadina tersebut.
0 Komentar