Menjelang batas akhir pendaftaran capres-cawapres, publik dikejutkan oleh putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang dinilai kontroversial. Perkara nomor 90/PUU-XXI/2023 terkait usia minimal calon presiden dan calon wakil presiden pada Undang-undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu dikabulkan oleh MK pada Senin (16/10). Putusan tersebut menyebutkan, capres-cawapres yang pernah terpilih melalui pemilu, baik sebagai DPR/DPD, Gubernur, atau Walikota dapat mencalonkan diri meskipun belum berusia 40 tahun.
Isu ini disorot oleh pakar hukum dan politik UGM melalui diskusi Election Corner bertajuk “MKDK: Mau ke Mana Demokrasi Kita” pada Kamis (19/10). Zainal Arifin Mochtar, pakar hukum UGM menyebutkan, putusan hukum MK kali ini berdampak besar pada nama baik MK dan hukum Indonesia.
“Putusan hukum itu kan sangat jarang memperlihatkan suasana kebatinan pembuat hukum. Kita sebagai publik melihatnya hanya dari alasan logisnya saja. Tapi kalau kita lihat sidangnya kemarin, itu banyak sekali suasana-suasana kebatinan yang diungkapkan. Bagaimana bisa gugatan yang sebelumnya ditolak, sedangkan gugatan yang baru masuk ini, tanggal 13 September, langsung diterima. Ada lagi soal perlibatan Ketua MK. Sejak awal ia bilang ia tidak ingin mengambil keputusan karena ada konflik kepentingan, tapi untuk putusan ini dia terlibat,” ungkap Zainal.
Zainal menambahkan, dibanding persoalan disahkannya putusan tersebut, hal yang lebih berbahaya adalah jika MK berubah atas dasar kepentingannya. Pembentukan MK pada dasarnya ditujukan untuk mewadahi persoalan politik agar diselesaikan secara hukum. Itulah mengapa tugas MK mayoritas banyak bersinggungan dengan politik. Sedangkan menurut Zainal, kondisi yang saat ini terjadi justru terbalik. Putusan yang baru disahkan disebut-sebut memperlihatkan bagaimana MK sangat dipengaruhi oleh politik.
“Ketika demokrasi diganggu, penegakkan hukum yang penting dalam demokrasi itu diganggu. Kedua, ketika esensi demokrasi dasar, seperti syarat capres-cawapres, itu tiba-tiba dihilangkan oleh hakim. Bagaimana bisa, kebijakan publik yang berkaitan dengan proses demokrasi itu ditentukan oleh orang yang tidak dipilih secara demokratis. Ketiga, adalah bagaimana kekuasaan kehakiman ini diperas untuk membenarkan keinginan politik,” ucap Zainal. Bahkan, jika melihat posisi MK sebagai penegak hukum di Pemilu 2024, kondisi ini terbilang sangat mengkhawatirkan.
Sepaham dengan Zainal, Sukri Tamma, Pakar Hukum Universitas Hasanuddin turut mempertanyakan bagaimana kondisi demokrasi setelah disahkannya putusan ini. Sistem demokrasi pada dasarnya membutuhkan hukum untuk memberikan batasan dan menghindari adanya dominasi satu pihak akan pihak lainnya. Hubungan antara hukum dan politik ini tidak boleh dicampurkan dengan kepentingan politik tertentu. Sukri berpendapat, persoalan putusan MK mengenai batas usia capres-cawapres tidak hanya berdampak pada pemilu tahun depan. Nantinya, akan ada banyak pihak yang beranggapan bahwa konsitusi dapat dikuasai oleh politik.
“Implikasinya akan sangat panjang. Paling tidak kedepannya, yang mungkin terjadi adalah kegamangan demokrasi. Benteng kita sudah sangat rapuh. Proses ini kan nantinya akan membuat penguat demokrasi itu ditawar, kemudian digunakan untuk melegalkan kepentingan tertentu. Nah, kalau ini yang ada pada prinsipnya kita sudah tidak berdemokrasi saya kira. Ini akan membuat kita bergembira dengan demokrasi prosedural, substansinya tidak ada,” tutur Sukri.
0 Komentar