Organisasi nirlaba Foreign Policy Community of Indonesia (FPCI) akan memberikan penghargaan Global Leadership Award kepada Presiden RI Joko Widodo karena dinilai bisa menghindari G20 dari perpecahan. KTT G20 Bali pada 15 November lalu melahirkan Leaders’ Declaration, yang secara substansi menjawab permasalahan dunia
Pemberian penghargaan ini juga hasil kerja sama Pemuda Muhammadiyah, Asosiasi Dosen Indonesia, Asosiasi Ilmu Hubungan Internasional, Purna-Paskibraka DKI Jakarta dan Indonesia Diaspora Network Global. Rencananya, pemberian penghargaan ini akan dilakukan dalam acara Conference on Indonesia Foreign Policy pada Sabtu, 26 November 2022 di Mal Kota Kasablanka, Jakarta.
Presiden Joko Widodo didampingi Menlu Retno Marsudi dan Menkeu Sri Mulyani memberikan keterangan setelah penutupan KTT G20 di BNDCC, Nusa Dua, Rabu, 16 November 2022. TEMPO/Francisca
FPCI dalam keterangannya menjelaskan prakarsa dan dedikasi Presiden Jokowi luar biasa dalam menjaga perdamaian dunia, menjembatani perbedaan dan mengutamakan dialog dalam menyelesaikan masalah global. Dengan begitu, penghargaan Global Leadership Award ini merupakan bentuk apresiasi dari komunitas hubungan internasional di Indonesia.
“Ini juga penghargaan untuk masyarakat Indonesia sebenarnya. Ini pertama kalinya G20 masuk dalam krisis, yang Indonesia presidennya. Kami tidak bisa (memberikan) award berdaraskan kasihan. Ini award saat dunia terbelah. G20 menghasilkan kesepakatan kerja sama. Ada harapan baru,” kata Dino Patti Djalal, Pendiri Foreign Policy Community of Indonesia (FPCI) dan mantan Duta Besar RI untuk Amerika Serikat, Kamis, 24 November 2022.
Selain pemberian penghargaan, dalam acara Conference on Indonesia Foreign Policy nanti akan ada klinik kebijakan luar negeri, yang diantaranya diisi sejumlah duta besar. Lewat acara ini, diharapkan masyarakat Indonesia tidak menjadi katak dalam tempurung karena ini bisa menjadi kesempatan bagi mahasiswa berkenalan dengan menteri, selebriti, otoritas berwenang dari sektor militer yang punya tujuan sama, yakni peduli pada dunia internasional.
“Bangsa maju diantaranya Singapura, Qatar dan Australia, masyarakat di sana tidak xenophobia,” kata Dino.
Sedangkan Utaryo Santiko Wakil Sekjen Asosiasi Ilmu Hubungan Internasional memperingatkan pada 2023 mendatang tantangan yang dihadapi masyarakat akan lebih luas sehingga warga diharapkan mau berkontribusi gagasan ke Indonesia dalam menghadapi turbulensi tersebut.
Dunia sekarang bukan hanya sedang terpecah-belah, tetapi juga membahayakan. Ada proxy-war, krisis ekonomi, krisis pangan, krisis energi dan krisis keuangan. Pandemi Covid-19 di Cina masih tinggi, belum lagi krisis iklim, di mana Paris Agreement ingin mencegah kenaikan suhu udara global lebih dari dua derajat Celsius dari besarannya saat pra-industri. Ambisinya bahkan membatasi kenaikan suhu maksimal 1,5 derajat Celsius. Tidak akan tercapai keberlangsungan kalau tidak ada stabilitas.
0 Komentar